Metode Dan Tantangan Dalam Pengukuran Dampak CSR sebagaimana yang sudah dinyatakan sebelumnya, untuk bisa mengukur dampak CSR,
maka perusahaan perlu memiliki data dasar terlebih dahulu. Hal ini
untuk memberi tahu seluruh pihak mengenai bagaimana kondisi calon
penerima manfaat. Kemudian, setelah inisiatif CSR kepada mereka dijalankan atau diselesaikan, kondisi mereka kembali diukur.
Supaya
yang diukur itu sama, maka diperlukan indikator, dan indikator tersebut
sebaiknya sudah ditetapkan di depan, yaitu sebelum data dasar diambil,
bukan setelah projek berjalan.
Dalam kondisi yang lain, sebuah
indikator dibuat ketika data dasar sudah diambil, namun hal itu hanya
mungkin manakala perusahaan sudah memiliki data dasar yang lengkap. Pada
pilihan seperti ini, ketika projek atau program sudah ditetapkan
tujuannya, indikator dibuat untuk menyesuaikan dengan tujuan, namun data
dasarnya dipastikan sudah ada.
Detail pengukuran itu sendiri memang rumit. Oleh karena itu,
banyak pakar menuliskannya dalam satu artikel atau satu bab penuh, dalam
dokumen yang panjang, atau bahkan buku yang khusus dipergunakan untuk
menjelaskannya. Satu artikel yang menuliskan soal itu misalnya dari
Veleva dkk (2012), Measuring the Business Impacts of Community
Involvement (Business and Society Review, Vol. 117/1). Lakin dan
Scheubel (2010) mendedikasikan Bab 9 dari buku mereka, Corporate
Community Involvement, Definitive Guide (Greenleaf Publishing) untuk
membahas itu. Publikasi dari WBCSD dan IFC (2008), Measuring Impact,
Framework Methodology merupakan dokumen sepanjang 78 halaman yang
menjelaskan masalah metodologi ini. Sementara, Henriques (2010),
CorporateImpact, Measuring and Managing Your Social Footprint
(Earthscan), adalah buku khusus yang menghubungkan penukuran dampak
sosial perusahaan dengan pengelolaannya.
Kalau para pakar saja membutuhkan ruang yang cukup panjang untuk menjelaskan bagaimana dampak CSR—bahkan,
contoh-contoh di atas itu baru mencakup dampak sosial saja—dapat
diukur, maka artikel ini bukanlah ruang yang tepat untuk membahas seluk
beluk metodologis itu. Namun, untuk menggambarkan betapa masalah
pengukuran ini memang tidak mudah, serta apa yang harusnya dilakukan
untuk memastikan bahwa pengukuran itu tidak dilakukan dengan
sembarangan, tulisan ini masih bisa dilanjutkan. Dengan menjelaskan ha
tersebut, tulisan ini hendak menyatakan bahwa kecurigaan Suryana bahwa
pengukuran dampak CSR memang tidak mudah adalah benar adanya.
Dalam sebuah tulisan yang terbit September lalu, Owen dan
Kemp, Assets, Capitals and Resources: Frameworks for Corporate Community
Development in Mining (Business & Society, Vol. 51/3 2012)
menjelaskan bahwa dalam pengembangan masyarakat di dunia tambang saja,
sekarang sudah dikenal ada enam paradigma. Itu semua yang sudah lebih
maju dibandingkan yang selama ini dikenal marak di Indonesia: donasi.
Keenam kerangka itu adalah Public Relations Approach, Risk Mitigation
and Opportunity Orientation, Five Capitals Model, Needs-Based
Development, Resources Orientation, dan Assets-Based Community
Development.
Masing-masing kerangka itu memegang asumsi yang berbeda soal
bagaimana masyarakat itu bisa ditingkatkan kondisinya. Dua yang pertama
mungkin lebih memproritaskan kepentingan perusahaan, sementara empat
yang berikutnya lebih melihat bagaimana perusahaan bisa membantu
peningkatan kondisi masyarakat. Jadi, karena ada asumsi pada
masing-masing pendekatan, maka pengukurannya juga akan mewujud secara
berbeda-beda. Ada perusahaan yang akan lebih berkutat kepada dampak
reputasional dari apa yang mereka kerjakan; apakah risiko sudah berhasil
diturunkan dan peluang berhasil diwujudkan; perbandingan kondisi kelima
jenis modal yang ada di masyarakat sebelum versus sesudah projek
pengembangan masyarakat perusahaan dilaksanakan; pemenuhan kebutuhan
masyarakat yang dinyatakan dalam tujuan projek; jumlah sumberdaya
material dan non-material yang dimiliki oleh masyarakat; atau jumlah dan
jenis aset yang dimiliki sebagai kekuatan utama dari masyarakat.
Owen dan Kemp (2012) menyatakan bahwa pendekatan Assets-Based
Community Development (ABCD) adalah yang paling progresif, karena
menaruh masyarakat sebagai pihak yang memiliki berbagai hal yang baik,
patut dan diinginkan—ini adalah definisi aset masyarakat menurut El
Hadidy (2008)—dalam membangun dirinya sendiri. Namun, dalam pengalaman
penulis, pendekatan Five Capitals adalah yang paling adil apabila kita
hendak menilai dampak CSR suatu perusahaan terhadap para penerima
manfaat. Menurut karya Porritt (2005), Capitalism As If the World
Matters, modal yang dimiliki untuk membangun adalah modal manusia,
sosial, alam, infrastruktur dan ekonomi. Oleh karena itu, kalau kita
hendak berlaku adil kepada perusahaan yang sudah menjalankan berbagai
inisiatif CSR, apalagi kalau sudah cukup lama, maka kita perlu melihat
dampak perusahaan itu terhadap kondisi 5 jenis modal itu di dalam
masyarakat. Baik dampak negatif maupun positif perusahaan, haruslah
disisir di dalam 5 jenis modal itu, dan hanya dengannya kita bisa
mengetahui dengan adil dan saksama apa yang telah dilakukan oleh
perusahaan terhadap masyarakat.
Namun sekali lagi ditekankan, mengukur kondisi kelima jenis
modal itu membutuhkan ketelatenan luar biasa. Juga, kesediaan untuk
berhadapan dengan berbagai tantangan metodologis. Berdasarkan pengalaman
penulis, terdapat setidaknya 6 tantangan yang harus dihadapi dalam mengukur dampak CSR perusahaan,
yaitu: penggunaan definisi dan batasan CSR tertentu; kejelasan batasan
dampak CSR versus dampak pembangunan yang dilakukan oleh pihak lain
versus sudut pandang sinergis; keputusan tingkat pengukuran di level
projek, program, atau seluruh inisiatif; penggunaan sudut pandang
subjektif, objektif atau keduanya; penggunaan pendekatan proses,
kinerja, atau gabungannya; serta sistem pengukuran hanya dengan aspek
ekonomi (monetisasi seluruh manfaat/mudarat) ataudengan mengikutsertakan
satuan pengukuran yang berbeda untuk setiap aspek. Perusahaan perlu
mengambil keputusan terkait keenam hal di atas, dengan mempertimbangkan
kesanggupan mitra dalam mengukur serta ekspektasi dari pemangku
kepentingannya.
Pada akhirnya, perlu juga disadari bahwa “sulit” bukanlah
satu-satunya hal yang membuat pengukuran dampak CSR belum cukup popular.
Masih ada hal-hal lain yang menyebabkan itu. CSR yang relatif baru,
sifat sebagian besar kegiatan sosial perusahaan yang belum beranjak dari
filantropi, kehendak untuk segera mendapatkan citra baik, kehendak
menutupi hal-hal buruk dari perusahaan, praktik penggunaan berbagai
kegiatan sosial sebagai “pemadam kebakaran”, kemalasan dan ketakutan
berhadapan dengan tantangan pengukuran, semuanya bisa menjadi motif
perusahaan tidak mau melakukan pengukuran dengan benar dan komprehensif.
Namun seluruh hal di atas bukanlah alasan yang bisa diterima untuk
tidak melakukan pengukuran. Bukankah Peter Drucker menyatakan bahwa
“what gets measured gets managed”?Hanya apabila kita bisa mengukur dampak CSR dengan benar sajalah maka kita bisa mengelola CSR dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar